salam sastra bung....
bagaimanapun kita tak bisa pungkiri islam adalah agama yang begitu menghargai keindahan,,,
dalam bidang apapun...
salah satunya dalam sastra, terbukti sang rumi mengolah kata-kata hatinya teruntuk sang (kekakasihnya)
begitu anggun,,,,
nah pengen ngerti kan siapa sebenarnya rumi???
dan gimna rumi bersajak???
simak ni sedikit aja ga usah banyak- banyak,,,,ntar malah mabok kalo kebanyakan,,,,hehehehe
Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan alhi matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.
Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.
Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.
Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.
Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma'rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.
Tak ada makhluk hidup didunia ini yang kekal, dan semuanya pasti akan kembali kepada-Nya. Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.
Kala kucari damai,
Dialah penolong sejati
Kala kupergi berperang,
Belati, itulah dia;
Kala kupergi ke pertemuan,
Dialah anggur dan manisan
Kala aku ke taman,
Keharuman, itulah dia.
Kala aku ke pertambangan,
Dialah batu delima di sana
Kala aku menyelam di lautan,
Dialah mutiara
Kala aku ke gurun,
Dialah taman di sana
Kala aku ke langit,
Dialah bintang terang
Kala kutulis surat
Ke sahabat-sahabat tercintaku
Kertas dan tempat tinta,
Tinta, pena, itulah dia
Kala kutulis syair,
Dan kucari kata bersajak
Yang membentangkan sajak-sajak,
Dalam pikiranku, itulah dia!
Hidup adalah perjalanan yang mengakibatkan keterpisahan demi kemanunggalan:
Duhai, kalau pohon bisa berkelana
Dan bergerak dengan kaki dan sayap!
Tentu ia tak akan menderita karena ayunan kapak
Juga tak akan merasakan pedihnya gergaji!
Karena kalau mentari tidak berkelana jauh
Menembus malam
Mana mungkin setiap pagi
Dunia akan cerah ceria?
Bila air samudra
Tidak naik ke langit
Mana mungkin tumbuh-tumbuhan akan tersuburkan
Oleh irigasi dan hujan yang lembut?
Tetes air yang meninggalkan negerinya,
Samudera, dan lalu kembali
Mendapati tiram sedang menanti
Dan tumbuh menjadi mutiara
Tidakkah Yusuf meninggalkan ayahnya,
Dalam sedih dan air mata dan putus asa?
Tidakkah lewat perjalanan itu
Dia peroleh kerajaan dan kemenangan?
Tidakkah Nabi pergi
Ke Madinah yang jauh, sobat?
Di sana didapatinya kerajaan baru
Dan perintahnya seratus negeri
Kalau tak punya kaki untuk berkelana,
Berkelanalah ke dalam dirimu,
Dan bak tambang batu delima
Terima jejak sinar mentari!
Perjalanan seperti itu
Akan membawa dirimu,
Mengubah debu jadi emas murni!
Tinggalkan pahit dan cuka,
Pergilah ke manis!
Sebab air laut pun membuahkan
Seribu jenis buah
Matahari Tabriz itulah
Yang menampilkan karya amat bagus itu,
Karena pohon jadi indah
Kala disentuh mentari.
Dan inilah syair doa yang mencerminkan ketakjuban yang tak kunjung henti terhadap Tuhan Yang Maha Agung:
Jika Dikau tak karuniakan jalan,
Ketahuilah bahwa jiwa pasti tersesat:
Jiwa yang hidup tanpa-Mu
Anggaplah itu mati!
Jika Dikau perlakukan dengan buruk hamba-hamba-Mu,
Jika Dikau mencerca mereka, Tuhan,
Dikaulah Raja – tak soal
Apa pun yang Dikau lakukan,
Dan jika Dikau menyebut matahari,
Rembulan indah itu “kotor”
Dan jika Dikau katakana si “jahat”
Adakah rampingnya cemara nun di sana itu,
Dan jika Dikau katakana Takhta
Semua alam itu “rendah”
Dan jika Dikau sebut lautan
Dan tambang emas “fakir lagi miskin”
Itu sah saja,
Sebab Dikaulah Yang Maha Sempurna:
Dikaulah satu-satunya yang mampu
Menyempurnakan segala yang fana!
nah udahkan???
dach mudeng???
kalo belum simak lagi di episode yang selanjutnya,,,,
salam sastra bung....
0 komentar:
Posting Komentar